Catatan Kuliah Radioterapi



RADIOTERAPI KANKER
Terapi radiasi (radioterapi) merupakan salah satu teknik pengobatan utama penyakit kanker yang banyak digunakan karena tingginya tingkat keefektifan radiasi pengion untuk merusak DNA sel kanker (Tubiana dkk., 2005). Radioterapi eksternal merupakan teknik pengobatan kanker menggunakan berkas radiasi pengion yang di arahkan pada bagian tubuh pasien yang didiagnosa terdapat kanker. Sumber radiasi pengion yang umumnya digunakan dalam prosedur radioterapi eksternal adalah sinar gamma dengan intensitas tinggi, misalnya pesawat Cobalt-60 (Jenko, 2008). Penggunaan sinar gamma berintensitas tinggi dapat menjangkau dan memutuskan DNA sel kanker  (Syaifudin, 2013). 


 

1      Tumor (Neoplasma)
Tumor atau neoplasma merupakan pertumbuhan sel abnormal secara terus-menerus meskipun rangsangan telah dihentikan dan cenderung bersifat merugikan penderita. Berdasarkan tingkat keganasannya, neoplasma dibedakan menjadi jinak (benign) dan ganas (malignant). Istilah kanker yang dikenal dalam istilah medis merupakan definisi tumor yang bersifat malignant (ganas) dan dapat menyebar secara invasi maupun metastasis (Cutter dkk., 1999).








Kanker merupakan kumpulan sel abnormal yang tumbuh secara tak terkendali akibat terjadinya mutasi gen pada DNA sel (Hejmadi, 2010). Mutasi pada proto-onkogen (proto-oncogenes) dan gen penekan tumor (tumor-suppressor genes) menyebabkan proliferasi sel menjadi tak terkendali dan sementara itu, proses apoptosis tidak dapat mengimbangi laju proliferasi. Ketidakseimbangan laju proliferasi dan apoptosis sel inilah yang menyebabkan tumor  menjadi bersifat malignant  (Syaifudin, 2013).


 

Pembelahan sel-sel kanker hanya dapat dihentikan dengan cara menghancurkan pusat pembelahan sel kanker, yaitu onkogen yang terletak pada DNA di dalam kromosom inti sel kanker. Kematian onkogen dalam DNA sel akan menghentikan semua proses mitosis, produksi enzim kolagenesis IV dan produksi faktor angiogenesis yang menyebabkan sel kanker mengalami nekrosis atau kematian   (Syaifudin, 2013)

Pertumbuhan cepat sel kanker didukung oleh kemampuan angiogenesis sel kanker, yaitu kemampuan membentuk pembuluh darah secara mandiri untuk memperoleh nutrisi dan oksigen lebih banyak dibandingkan dengan sel normal (Lam, 2003). Banyaknya pembuluh darah dalam sel kanker menyebabkan bahan kontras dalam pemeriksaan CT-Scan  lebih banyak diserap oleh sel kanker, sehingga jaringan kanker lebih mudah dibedakan dari jaringan normal di sekitarnya (ACR, 2013).


Perencanaan radioterapi merupakan prosedur fundamental yang menentukan keberhasilan pengobatan kanker (Barrett dkk., 2009). Perencanaan radioterapi dilakukan oleh tim medis yang terdiri dari dokter ahli onkologi radiasi dan fisikawan medis untuk melakukan analisa klinis berdasarkan semua informasi pasien bersangkutan yang meliputi; kondisi pasien, kondisi tumor, dan penanganan medis lain yang pernah dijalani oleh pasien. Seluruh informasi pasien tersebut digunakan untuk melakukan perencanaan radioterapi dengan tujuan untuk memaksimalkan efek positif pasca radioterapi dilakukan (Barrett dkk., 2009).

Perencanaan radioterapi lebih cenderung menggunakan hasil citra CT-Scan daripada hasil radiografi sinar-X karena citra CT-Scan mampu menampilkan perbedaan koefisien atenuasi sel dalam bentuk citra 3D (Guy dan Ffytche, 2005). Penggunaan citra CT –Scan dalam perencanaan radioterapi dapat membantu  fisikawan medis dalam menentukan arah penyinaran radioterapi eksternal yang terbaik dengan cara memperhatikan sebaran dosis radiasi yang diterima oleh kanker dan organ normal di sekitar kanker (Jenko, 2008).


Penentuan area radiasi merupakan prosedur pendefinisian volum kanker dan organ normal di sekitar kanker yang terdampak radiasi selama prosedur radioterapi dilakukan (IAEA, 2004). Pendefinisian volum organ yang berisiko terdampak radiasi diperlukan untuk mengevaluasi tingkat kerusakan organ berdasarkan besarnya dosis yang diterima per satuan volum organ tersebut (Podgorsak, 2005)

Pedoman pendefinisian volum target dalam radioterapi eksternal menggunakan sumber radiasi jenis foton dijelaskan dalam artikel 50 dan 62 ICRU (International Commission on Radiation Units and Measurement) (Jayaraman dan Lanzl, 2004). Volum target radioterapi meliputi 3 volum utama, yaitu gross tumor volume (GTV), clinical target volume (CTV), dan planning tumor volume (PTV). Gross tumor volume (GTV) merupakan area yang dideteksi sebagai lokasi tumor primer dengan densitas sel tumor paling besar (Joiner dan Kogel, 2009).
Clinical target volume (CTV) merupakan area GTV ditambah dengan volume disekitar GTV yang diduga menjadi lokasi penyebaran tumor. Batas GTV-CTV ditentukan berdasarkan karakteristik biologis tumor dan keputusan ahli onkologi radiasi. Planning target volume (PTV) merupakan area CTV ditambah dengan batas tambahan bagi pergerakan atau deformasi CTV (Joiner dan Kogel, 2009). Kontur GTV, CTV, dan PTV dibuat  dengan menggunakan citra hasil CT-Scan pasien. Proses pengonturan dilakukan secara bertahap pada setiap irisan (slice) axial citra CT-Scan untuk mengurangi risiko kerusakan organ normal di sekitar GTV akibat paparan radiasi yang tidak seharusnya diberikan (Barrett dkk., 2009).

Prosedur segmentasi kanker di setiap irisan  axial CT-Scan pasien memerlukan banyak waktu, sehingga dibutuhkan prosedur semiotomatis yang dapat mempercepat prosedur pendefinisian target radiasi. Penelitian segmentasi area sacrum untuk penentuan sebaran dosis radiasi (Dose Volume Histogram, DVH) yang dilakukan Marinetto (Marinetto dkk., 2014) menghasilkan beda mutlak (absolute difference) sebesar 0,5 – 3% dari hasil segmentasi manual yang dilakukan oleh dokter ahli. Oleh karena itu, nilai bilangan CT dapat digunakan sebagai salah satu parameter dalam segmentasi organ tubuh manusia.

          Dosis optimum dalam prosedur radioterapi kuratif merupakan dosis radiasi yang diharapkan mampu meminimalkan efek komplikasi yang dapat dirasakan oleh pasien. Oleh karena itu,  perwujudan efek samping akibat prosedur radioterapi  dapat digunakan sebagai indikator pengobatan yang optimum dan meningkatnya peluang penyembuhan kanker. Pemberian dosis optimum pada radioterapi kuratif dipastikan akan menimbulkan efek akut maupun efek kronis nagi pasien. Hal ini dikarenakan volume target dalam radioterapi selalu mencakup sejumlah jaringan normal untuk mengantisipasi adanya penyebaran sel kanker dalam ukuran mikroskopis. Selain itu, jaringan atau organ normal yang berada pada lintasan berkas radiasi juga pasti akan menerima dosis radiasi yang relevan dengan dosis optimum yang direncanakan (Joiner & Kogel, 2009).
          Perbedaan dasar antara efek akut dan kronis radiasi adalah ­waktu terjadi dan penyebab terjadinya efek tersebut. Efek akut radiasi akan segera teramati setelah paparan radiasi sehubungan dengan kematian sel dengan jumlah besar pada jaringan yang memiliki mekanisme proliferasi aktif. (Tubiana et al., 2005). Sedangkan efek kronis radiasi baru dapat teramati setelah waktu tunda (masa laten) sekitar 90 hari hingga beberapa tahun setelah prosedur radioterapi dilakukan  berkaitan dengan rendahnya kemampuan self repairing yang dimiliki oleh sel tersebut (Joiner & Kogel, 2009).


            Efek akut radiasi dikenal pula sebagai efek deterministik, yaitu efek yang hanya muncul jika dosis radiasi yang diterima tubuh pasien telah melebihi batas ambang dosis (threshold dose) dan efek tersebut cenderung timbul dengan waktu tunda yang relatif singkat dibanding efek stokastik. Keparahan efek deteministik akan meningkat apabila dosis radiasi yang diterima semakin besar (Cember & E. Johnson, 2009).
          Efek radiasi secara akut pada seluruh tubuh akan direspon oleh masing-masing organ sesuai dengan dosis ambang radiasinya sehubungan dengan sensitivitas masing-masing sel penyusun organ tersebut. Oleh karena itu, dikenal istilah Sindroma Radiasi Akut (SRA) yang merupakan sekumpulan sindrom klinik yang terjadi dalam waktu beberapa detik hingga 3 hari setelah paparan radiasi pengion secara akut pada seluruh tubuh dengan dosis yang relatif tinggi ( ≥ 1 Gy). Gejala umum efek akut radiasi dapat berupa mual, muntah, rasa tak enak badan, kelelahan, peningkatan suhu tubuh, dan perubahan pembentukan sel darah. Perwujudan SRA ini diklasifikasikan menjadi tiga jenis sindroma, yaitu sindroma hematopoietik, gastrointestinal, dan sistem saraf pusat (Cember & E. Johnson, 2009).
          Sindroma hematopoietik berdampak utama pada proses pembentukan sel darah (menyerang sumsum tulang). Dosis ambang terjadinya perubahan jumlah sel darah yang dapat diamati adalah 0,5 Gy (50 rads), sedangkan sindroma hematopoietik akan tampak setelah seluruh tubuh terpapar radiasi gamma dengan dosis sekitar 2 Gy. Jumlah sel limfosit akan menurun dalam waktu beberapa jam pasca pajanan radiasi, sedangkan jumlah granulosit dan trombosit akan menurun dalam selang waktu lebih lama (beberapa hari atau minggu) seperti yang ditunjukkan oleh Gambar 2.12. Penurunan jumlah limfosit total dapat digunakan untuk memperkirakan tingkat keparahan yang mungkin diderita individu akibat paparan radiasi secara akut.




                                                                                                                            
 
Gambar 1 Efek Hematologi akibat Paparan Radiasi secara Berlebihan (Cember & E. Johnson, 2009)
 

           Sindroma Sistem Pencerenaan (Gastrointenstinal Syndrom) akan teramati setelah tubuh terpapar radiasi ≥10 Gy yang menyebabkan kerusakan epitel usus dan kerusakan total sumsum tulang. Gejala yang timbul meliputi seluruh gejala seperti pada sindroma hematopoietik, namun gejala berupa mual parah, muntah, dan diare akan terjadi secara segera setelah paparan radiasi (Cember & E. Johnson, 2009).
            Sindroma Sistem Saraf Pusat (Central Nervous System Syndrom / CNS) akan terjadi setelah dosis radiasi melampaui dosis ambang 20 Gy. Gejala yang muncul pada sindrom CNS adalah hilangnya kesadaran setelah paparan radiasi selama beberapa menit dan bahkan dapat menyebabkan kematian apabila paparan radiasi terjadi selama beberapa jam hingga beberapa hari. Semakin besar dosis radiasi melampaui dosis ambang CNS, maka akan menyebabkan semakin cepat hilangnya kesadaran individu setelah paparan radiasi tersebut (Cember & E. Johnson, 2009).
            Efek deterministik merupakan salah satu bentuk pembatas bagi dosis yang dapat diberikan pada prosedur radioterapi sehubungan dengan kerusakan yang dapat bersifat fatal bagi beberapa jaringan, sehingga diperlukan perencanaan dosis radiasi yang tepay agar diperoleh dosis optimum untuk menyebuhkan kanker dan meminimalkan efek radiasi bagi organ normal di sekitarnya (Joiner & Kogel, 2009).


Efek kronis radiasi sering dikenal pula sebagai efek stokastik. Efek kronis dapat muncul tanpa mengenal batas ambang dosis radiasi, sehingga dosis yang rendah sekalipun dapat menyebabkan efek kronik yang dampaknya baru akan muncul setelah waktu tunda yang relatif cukup lama. Waktu tunda atau masa laten merupakan kondisi tanpa gejala yang sesungguhnya merupakan proses terjadinya kerusakan sel lanjutan akibat radiasi yang kemudian baru akan menimbulkan gejala saat kerusakan sel telah mengakibatkan disfungsionalitas organ yang disusun oleh sel-sel tersebut.     Pada beberapa kasus tertentu, efek kronis radiasi baru akan teramati ketika individu yang terpapar radiasi memiliki keturunan. Oleh karena itu, prosedur radioterapi harus mempertimbangkan jenis sel di sekitar kanker untuk dapat merencanakan dosis dan arah penyinaran terbaik, sehingga meminimalkan efek stokastik dan menghindarkan efek deterministik yang dapat diderita oleh pasien (IAEA, 2004).
Terjadinya efek akut (deterministik) radiasi bergantung pada kemampuan proliferasi sel yang pada beberapa organ tertentu cenderung bersifat lambat, misalnya pada sel epitel pada kandung kemih (bladder) yang cenderung memiliki masa hidup yang cukup panjang. Oleh karena itu, masa laten akibat radiasi pada kandung kemih dapat mencapai lebih dari 3 bulan, sehingga akan menahan pathogenesis reaksi akut radiasi (Gambar 2.13). Sedangkan, pada kasus sel paru-paru, reaksi akut dan kronis dapat bergabung tanpa disertai dengan timbulnya gejala tertentu untuk membedakan efek akut dan kronis tersebut. Perbedaan jelas antara efek akut dan kronis terletak pada perkembangan tingkat kerusakan yang ditimbulkannya (Tubiana et al., 2005).







Gambar 2 Panjang interval antar irradiasi dan kenampakan kerusakan maksimum jaringan sebagai fungsi masa hidup dari sel-sel yang berbeda (Tubiana et al., 2005)

 
Kerusakan akibat efek akut radiasi akan dapat diperbaiki secara cepat dan memiliki kemungkinan untuk pulih, namun kerusakan akibat efek kronis radiasi cenderung tidak dapat dipulihkan karena kerusakan sel akibat radiasi tidak dapat diperbaiki oleh mekanisme alami sel yang cenderung membutuhkan waktu yang lama berkaitan dengan kemampuan proliferasi sel yang rendah. Keberadaan efek kronis radiasi inilah yang kemudian dapat menyebabkan jaringan semakin mengalami proses atropi. Selain itu, efek kronis radiasi juga dapat menyebabkan perubahan pengurangan kemampuan proliferasi sel punca (stem cell) pada sistem hemopoietik akibat adanya prosedur irradiasi yang berulang berkaitan dengan kerusakan vascular selama radioterapi dilakukan (Tubiana et al., 2005).
Komplikasi akibat efek kronis radiasi bukan hanya bergantung pada kerusakan vascular yang terjadi akibat radiasi, namun lebih bergantung pada jenis jaringan dan sensitivitas yang dimilikinya. Oleh karena itu, efek radiasi akan berbeda pada tiap jaringan bergantung pada dosis yang mampu ditoleransi oleh jaringan tersebut (Tabel 1).

Tabel 1 Dosis toleransi berbagai jaringan (Tubiana et al., 2005)
Organ
Jenis kerusakan
TD 5/5 (Gy)
TD 50/5 (Gy)
Luasan organ terpapar (Ukuran atau panjang)
Sumsum tulang
Aplasia, pancytopenia
2-5/30
4-5/4080
Total/sebagian
Hati
Hepatitis akut dan kronis
25/15
40/20
sebagian/total
Perut
Perforation, ulcer, haemorrhage
45
55
100 cm2
Usus (intestine)
Ulcer, perforation, haemorrhage
45/50
55/65
400 cm2 / 100 cm2
Otak
Infraction, nekrosis
50
60
Keseluruhan
Spinal cord
Infraction, nekrosis
45
55
10 cm
Jantung
Pericarditis dan pancarditis
45/70
55/80
50% / 25%
Paru-paru
Pneumonitis akut dan kronis
30/15
50/25
10 cm2 / total
Ginjal
Nephrosclerosis akut dan kronis
15/20
20/25
Total / sebagian

Dosis toleransi yang ditampilkan pada Tabel 2.2 di atas menunjukkan efek keparahan komplikasi. TD 5/5 dan TD 50/5 masing-masing menunjukkan terjadinya  5% dan 50% efek keparahan komplikasi pada 5 tahun setelah prosedur radioterapi dilakukan (Tubiana et al., 2005).

            Efek radiasi pada tubuh dapat bersifat deterministik maupun stokastik bergantung pada dosis radiasi dan jenis sel yang menyusun organ yang terpapar radiasi selama prosedur radioterapi dilakukan (Cember & E. Johnson, 2009).
            Radiosensitivitas jaringan dapat diklasifikasikan menjadi tiga jenis, yaitu radiosensitif tinggi, radiosensitif menengah, dan kurang radiosensitif. Jaringan radiosensitif tinggi merupakan jaringan yang paling sensitif terhadap radiasi sehubungan dengan aktivitas proliferasi sel yang tinggi. Paparan radiasi dapat merusak sel yang aktif berploriferasi tersebut, sehingga menyebabkan penurunan jumlah sel. Contoh sel dengan radiosensitivitas tinggi antara lain sumsum tulang, jaringan limfoid, gastrointestinal (pencernaan), epitelium, gonad, dan jaringan embrionik. Sel radiosensitivitas menengah adalah kulit, endothelium vascular, paru-paru, ginjal, hati, dan lensa (mata). Sedangkan jaringan radiosensitivitas rendah antara lain adalah sistem saraf pusat (CNS), otot, tulang dan kartilago, serta jaringan konektif (IAEA, 2004).


 

 




Gambar 3 Contoh sel dengan variasi tingkat radiosesnitivitas (IAEA, 2004)
 
 

Efek kerusakan akan bervariasi terhadap dosis radiasi bergantung pada sensitivitas sel penyusun organ tersebut. Faktor utama yang berkontribusi terhadap variasi efek kerusakan sel adalah kemampuan proliferasi yang dimiliki oleh sel tersebut. Sel yang aktif berploriferasi memiliki potensi kerusakan yang lebih cepat dibandingkan dengan sel yang kurang aktif berploriferasi. Pada tabel 2.3 berikut ini akan ditunjukkan besarnya dosis toleransi bagi beberapa jenis organ disertai dengan respon fraksinasi yang dapat menghasilkan efek akut maupun kronis bagi organ tersebut (Joiner & Kogel, 2009).





          Tabel 2 Dosis toleransi, respon frkasinasi (rasio ) untuk kerusakan akut, dan kerusakan kronis organ pada manusia (Joiner & Kogel, 2009)
Organ
Manifestasi
Waktu yang dibutuhkan untuk manifestasi
Rasio (Gy)
Dosis toleransi per  total volume organ (Gy)
Keterangan
Kartilago
(masa pertumbuhan)
Pertumbuhan terhenti
Pertumbuhan selanjutnya
6
20

Kartilago (dewasa)
Nekrosis
Bulan- tahun

70
Berkaitan dengan kerusakan vascular
Tulang (dewasa)
Osteoradionecrosis
Tahun-puluhan tahun
60
mandibula : 40-50
Kerusakan vascular dan trauma
Jaringan konektif
Fibrosis
9 bulan-tahun
2
60
Reaksi kronis yang paling sering terjadi
Kapiler
Perubahan kapiler
6 bulan-tahun
3
60
Berkontribusi pada variasi efek kronis
Pembuluh besar
Perubahan pada dinding pembuluh, stenosis
Tahun

70
Serupa perubahan atherosclerotic

          (berlanjut)

            Tabel 2  Lanjutan
Organ
Manifestasi
Waktu yang dibutuhkan untuk manifestasi
Rasio (Gy)
Dosis toleransi per  total volume organ (Gy)
Keterangan
Jantung
Perubahan ECG, arrhythmia
Selama Radioterapi

3
20

Reversibel
Cardiomyopathy (pericarditis)
Bulan-tahun

40


Kulit
Eritema

Selama Radioterapi

9-10




Radiodermatitis kering

Selama Radioterapi
10

40(100cm2)


Radiodematitis basah

Selama Radioterapi

10

60(100cm2)


Gangrene, ulcer

3
55(100cm2)

Folikel rambut
Kerontokan rambut
Selama Radioterapi (minggu ke-4)
7
40

         
          (berlanjut)
           
            Tabel 3 Lanjutan
Organ
Manifestasi
Waktu yang dibutuhkan untuk manifestasi
Rasio (Gy)
Dosis toleransi per  total volume organ (Gy)
Keterangan
Kelenjar sebaceous
Kulit kering
Selama radioterapi
(minggu ke-2)

12
Disfungsionalitas sementara
Kelenjar prespiratory
Kulit kering, disfungsionalitas transpirasi
Selama radioterapi
(minggu ke-4)

30-40
Disfungsionalitas permanen
Oral mucosa
Ulcerative mucositis
Selama radioterapi
(minggu ke-2-3)
10
20

Kelenjar saliva
Atropi/ fibrosis
Selama radioterapi
(minggu ke-2)

60-70

Esofagus
Disphagia
Selama radioterapi -bulan

40-45
Mucositis awal
Ulcer-fistula

55

Perut
Atony
Selama radioterapi
4
20

Ulcer
Bulan

50

(berlanjut)

       Tabel 4 Lanjutan
Organ
Manifestasi
Waktu yang dibutuhkan untuk manifestasi
Rasio (Gy)
Dosis toleransi per  total volume organ (Gy)
Keterangan
Usus halus
Malabsorpsi
Selama radioterapi
8
30

Ulcer/obstruksi
Bulan
4
40

Usus besar
Diare

Selama radioterapi-setelah radioterapi

10-20

Ulcer/obstruksi
Bulan-tahun
45
Rektum
Procitis
Inflamasi kronis, ulcer
Selama RT
Bulan-tahun

5
50
60

Hati
Veno-occlusive disease (VOD)
2-3 minggu


30
Letal setelah seluruh organ terirradiasi, sehingga efek kronis hanya terjadi setelah sebagian organ terirradiasi
Fibrosis
Bulan-tahun


(berlanjut)
Organ
Manifestasi
Waktu yang dibutuhkan untuk manifestasi
Rasio (Gy)
Dosis toleransi per  total volume organ (Gy)
Keterangan
saluran empedu (biliary tract)
Fibrosis
Stenosis/stricture
Bulan-tahun
Bulan-tahun
1


Pankreas
Fibrosis
Bulan-tahun

50-60
Gejala efek akut tak diketahui
Ginjal
Nephropathy
9 bulan-tahun
2
20

Ureter
Penyempitan (stricture)
2 tahun

60-70

Kandung kemih
Cystitis
Selama radioterapi
10
20-35


Penyusutan (shrinkage), ulceration
Tahun-puluhan tahun

50
Uretra
Penyempitan
Bulan-tahun
5-10
60-70

Larynx
Oedema
Selama radioterapi
2-4
45
Perubahan kualitas  suara secara permenen, nekrosis terjadi puluhan tahun setleah irradiasi dosis tunggal
Oedema kronis, nekrosis
Bulan

70
(berlanjut)

Organ
Manifestasi
Waktu yang dibutuhkan untuk manifestasi
Rasio (Gy)
Dosis toleransi per  total volume organ (Gy)
Keterangan
Paru-paru
Pneumonitis
2-6 minggu
5
12-14

Pneumonitis
4-6 minggu
5
45
Fibrosis
6 bulan-2 tahun
4

Testis
Sterilitas permanen
minggu-bulan

1,5

Ovarium
Sterilitas permanen
minggu-bulan

2,5

Uterus
Atropi
Bulan-tahun

100

Vagina
Mucositis
Selama RT

30


Ulcer, fibrosis
Bulan-tahun

50
Payudara (anak-anak)
Pertumbuhan terhambat
Pada masa pubertas

10

Payudara (dewasa)
Fibrosis/atropi
Tahun
2-3
60

(berlanjut)

Organ
Manifestasi
Waktu yang dibutuhkan untuk manifestasi
Rasio (Gy)
Dosis toleransi per  total volume organ (Gy)
Keterangan
Payudara (dewasa)
Fibrosis/atropi
Tahun
2-3
60

Kelenjar adrenal
disfungsionalitas
Bulan-tahun

90

Kelenjar pituitary/diencephalon (anak-anak)
Defisit hormon pertumbuhan
Buan -tahun

18-24
Retardasi pertumbuhan
Cerebrum (anak-anak)
somnolence syndrome
Selama –setelah radioterapi

24

Cerebrum (dewasa)
Nekrosis
Bulan-tahun

55

Spinal cord
Lhermitte syndrome
minggu-bulan

35
Reverseibel
Cervical/thoracic
Radiation myelopathy
6 bulan-2 tahun
2
55

Payudara (dewasa)
Fibrosis/atropi
Tahun
2-3
60

Kelenjar adrenal
Disfungsionalitas
Bulan-tahun

90

Thoracic/lumbar
Radiation myelopathy
6 bulan-2 tahun
2
55

Saraf tepi
Disfungsionalitas
Bulan-tahun

60

(berlanjut)

Organ
Manifestasi
Waktu yang dibutuhkan untuk manifestasi
Rasio (Gy)
Dosis toleransi per  total volume organ (Gy)
Keterangan
Indra perasa
disfungsionalitas
Selama radioterapi-bulan

30
Reverseibel
Lymph nodes
Atropi permanen
Bulan-tahun

70

Lymphatic vessel
Sklerosis
Bulan-tahun

90
Sering terjadi berkaitan dengan fibrosis jaringan konektif
Sumsum tulang
Hypoplasia sementara
selama radioterapi
10
2
irradiasi seluruh tubuh
Lethal aplasia (1 tahun)

5
4
irradiasi seluruh tubuh
Aaplasia permanen
Selama- setelah radioterapi



           

DAFTAR PUSTAKA







 


Comments

Post a Comment

Popular posts from this blog

Praktikum Komputasi Dasar: Pengenalan Matlab

Proteksi Radiasi dan Dosimetri